[LOUNGE] Ngalor Ngidul CurHat

cerita horor ini punya mbah ngesot. jika berkenan izinkan aku post disini, jika keberatan nanti bisa di hapus. oke tq



yak, untuk meramaikan khasanah perhororan, simak cerita ini dan bejimana
horor nya.

.........

Kenalkan, aku Sarah. Tahun lalu sekitar pertengahan bulan Agustus, aku dan teman-temanku mengalami kejadian mengerikan di sebuah wahana angker. Ini semua gara-gara Dion kalau saja dia tidak mengajak kami main ke wahana itu mungkin petaka ini tak akan pernah menimpa kami.

Dion itu salah satu sahabatku. Jadi, kami tuh sahabatan empat orang. Aku, Dion, Rendi (dia pacarku), dan satu lagi si Arin. Persahabatan kami sudah terjalin dari sejak lama.

Di suatu siang, kami berempat sedang kumpul di kantin. Awalnya obrolan kami membahas dosen killer yang suka mengusir mahasiswa dari kelas. Tiba-tiba topik obrolan kami beralih membahas wahana malam. Kata Dion di dekat sini ada wahana malam yang seru banget.

“Pokoknya kalian nggak akan kecewa. Ayolah kita ke sana,” kata Dion, ekspresi wajahnya penuh semangat.

“Emang wahananya daerah mana sih?” tanya Rendi penasaran.

“Di dekat Cisetu. Nih, kalian lihat,” Dion menunjukkan foto di smartphone-nya.

Kami semua mendekat ke layar itu, “Kayaknya seru juga sih,” kataku.

“Ya udah ke sana aja kita,” Arin adalah orang pertama yang menyetujui ajakan Dion.

“Percaya sama gua, kita pasti have fun di sana,” ujar Dion, dia lalu meminum jus jeruknya.

“Ya udah kapan?” tanya Rendi.

“Nanti malem aja gimana? Pada punya waktu luang kan?” Dion tanya balik.

“Boleh-boleh,” Arin langsung setuju saja.

Rendi tampak sedang mengingat-ingat sesuatu. Mungkin dia punya rencana lain nanti malam.

“Gimana, Sayang?” tanyaku ke Rendi.

“Sebenarnya gua mau ngerjain proposal sih,” kata Rendi. Pacarku ini emang seorang aktivis.

“Yah…,” Arin kecewa.

“Ayolah, Ren. Malam ini aja,” bujuk Dion.

“Ya udah deh, gua ikut, tapi jangan lama-lama ya. gua masih ada kerjaan," akhirnya Rendi menyetujui ajakan Dion.

"Hahaha... siap! Pokoknya gua jamin wahananya keren banget," Dion mengacungkan jempolnya.

Malam itu juga kami pergi ke wahana malam. Sesampainya di sana, aku melihat tidak ada yang aneh dari wahana itu, suasananya gemerlap oleh lampu warna-warni. Ada banyak pilihan wahana di sana seperti bianglala, komedi putar, rumah hantu, ombak banyu, komedi putar, dan masih banyak lagi.

“Kita mau nyoba apa dulu nih?” tanya Dion.

“Ombak banyu seru kayaknya,” Arin mengusulkan.

Kami semua setuju saja dan langsung menuju wahana ombak banyu. Jujur, sebenarnya aku takut naik wahana itu karena menurutku wahana ombak banyu itu membahayakan. Untung saja ada Rendi, nanti aku bisa pegangan ke tangannya.

Kebetulan saat itu tidak banyak orang yang naik ombak banyu. Aku duduk di samping Rendi Sementara Dion dan Arin duduk di seberangku. Ombak banyu pun mulai berputar-putar perlahan dan semakin lama putarannya semakin kencang. Aku berteriak ketakutan sambil memejamkan mata.

Rendi malah ketawa-ketawa, tampaknya dia senang kalau melihatku ketakutan. Sesekali kubuka mata dan saat itulah kulihat ada seorang perempuan yang duduk di samping kiri si Arin. Padahal aku ingat betul kalau tadi tidak ada siapa-siapa di sana.

Sejenak kuperhatikan wanita itu, dia tertawa-tawa seperti sedang menikmati wahana. Selang beberapa saat putaran ombak banyu melambat dan berhenti seketika. Anehnya wanita yang tadi duduk di samping Arin tiba-tiba hilang begitu saja.

“Rin gua tadi lihat ada orang yang duduk di samping elu,” kataku setelah kami semua turun dari wahana.

“Iya si Dion kan,” jawab Arin santai.

“Bukan Dion, itu cewek kok.”

“Hahaha lu mau nakut-nakutin gua di tempat ramai kayak gini,” Arin malah tertawa.

“Mungkin kamu salah lihat sayang,” Rendi merangkul pundakku.

“Ya udah yuk naik yang lain lagi,” Ajak Dion. Dia kayaknya tidak peduli dengan apa yang kulihat barusan.

“Rumah hantu! Seru kayaknya,” lagi-lagi Arin mengusulkan.

“Iya kayaknya seru nih. Masuknya berdua-berdua ya…,” usul Rendi.

“Iyalah. Lagian aku nggak mau kalau harus sendirian,” kataku sambil melirik manja ke wajah Rendi.

“Iya, Sayang. Aku nggak akan biarin kamu sendiri kok,” Rendi mengelus kepalaku.

“Dih, bucin mulu kalian nih!” kata Arin.

“Biarin aja Rin. Udah syukur mereka jadian. Bayangin mereka udah sama-sama suka dari semester satu dan baru minggu kemarin si Rendi berani nyatain cinta,” Dion menimpali sambil tertawa cekikikan.

“Ya udah yuk,” aja Dion.

Dion dan Arin masuk duluan, sementara aku dan Rendi menunggu di depan pintu rumah hantu. Selang beberapa saat, petugas yang jaga rumah hantu pun menyuruh kami masuk. Aku benar-benar tegang, kupegang erat lengan kanan pacarku.

“Tenang saja, hantunya cuma boongan kok,” Rendi tersenyum.

Suasana di dalam sangat remang. Di sebelah kananku ada burung hantu yang sedang bertengger, dia memperhatikan kami yang melintas di hadapannya. Rumah hantu itu sangat menyeramkan, ada pocong, kuntilanak, genderuwo dan juga drakula. Aku tak sanggup menyaksikan hantu-hantu itu dan sesekali sembunyi di pelukan Rendi.

Lain halnya dengan pacarku itu, bukannya takut dia malah ketawa-ketawa. Tak lama kemudian kami pun keluar dari rumah hantu itu. Di halaman belakang, kulihat Dion sedang berbicara dengan seorang petugas bertubuh kurus, Dio tampak panik.

“Kenapa, Dion?” tanya Rendi.

“Arin…!”

“Arin kenapa?!” tanyaku dengan nada tinggi.

“Arin hilang…,” ujar Dion, dia sangat ketakutan. Keringat membasahi wajahnya seperti orang yang baru saja dikejar-kejar setan.

“Tadi saya sama teman saya masuk ke rumah hantu ini, Pak. Pas kami di dalam, tiba-tiba dia hilang gitu aja," jelas Dion.


Petugas itu lalu berbicara melalui HT, “Monitor, tolong jangan dulu ada yang masuk ke rumah hantu. Kita mau cari orang hilang.”

“Hah, hilang!? Iya-iya, Pak, siap!” kata seseorang melalui HT.

Kami pun masuk kembali ke rumah hantu itu. Tapi anehnya kami tidak menemukan Arin di sana. Malam itu juga kami langsung lapor polisi, rumah hantu itu pun dibongkar. Tapi tetap saja si Arin tidak ditemukan. Ke mana dia? Kedua orang tua Arin benar-benar marah pada pihak pengelola wahana dan akan membawa kasus ini ke pengadilan.

Semua cara sudah dilakukan untuk menemukan Arin. Kami bahkan sudah minta tolong ke orang pintar, takutnya Arin diculik sama jin. Sayangnya dukun itu juga tidak mampu menemukan Arin. Ini benar-benar tidak masuk akal.

Satu minggu setelah Arin hilang, wahana itu benar-benar ditutup. Kabar hilangnya Arin menyebar luas bahkan diberitakan oleh media nasional. Aku masih penasaran ada apa dengan wahana itu.

Apakah memang wahana itu angker? Mungkinkah hilangnya Arin ada kaitannya dengan wanita misterius yang duduk di atas ombak banyu? Kuraih telepon genggamku lalu menghubungi Rendi.

“Ren?”

“Iya, Sayang,” suara Rendi terdengar lemas sekali.

“Kamu lagi di mana?” tanyaku.

“Lagi di rumah nih.”

“Aku masih penasaran sama wahana itu. Antar aku ke sana yuk!” ajakku.

“Mau ngapain?” tanya Rendi lagi.

“Nyari Arin.”

“Kita kan udah cari berhari-hari di sana tetap nggak ada," jelas Rendi.

“Aku punya firasat kalau Arin masih ada di wahana itu," kataku.

Rendi terdiam sejenak. “Sekarang?” tanyanya.

“Iya, Ren.”

“Ya sudah aku jemput sekarang ya.”

Malam itu sekitar jam sembilan kami pun pergi ke wahana tempat Arin hilang. Tampak dari luar, wahana itu masih disegel garis polisi. Gerbangnya ternyata dikunci, kami tidak bisa masuk ke dalam wahana itu.

“Sarah…,” Rendi memanggilku. Dia memang sedang mencari celah untuk bisa masuk ke dalam wahana.

Aku sebenarnya heran, kenapa tidak ada penjaga sama sekali di wahana ini. Seperti dibiarkan terbengkalai begitu saja. Kami menyusuri setiap wahana yang ada di sana, tapi tidak ketemukan hal aneh. Dan, beberapa saat kemudian, kami mendengar sayup-sayup ada yang meminta tolong. Aku sangat kenal itu suaranya si Arin.

“Kamu dengar itu?” tanyaku ke Rendi.

“Iya itu suara Arin. Dari arah sana,” Rendi menunjuk komedi putar.

Kami buru-buru menghampiri komidi putar itu. Namun, tak ada siapa siapa di sana.

“Kalian cari siapa?” entah dari mana datangnya. Tiba-tiba ada seorang lelaki paruh baya berdiri di belakang kami.

“Kami lagi cari teman kami yang hilang di wahana ini, Pak,” jawab Rendi.

“Bapak siapa kok bisa ada di sini?” tanyaku.

“Saya memang tinggal di sini,” jawab lelaki itu.

Aku semakin bingung. Maksudnya apa? Ini kan wahana yang sudah ditutup. Kenapa dia bisa tinggal di sini?

“Pulanglah! Teman kalian tidak akan bisa kembali,” ujar lelaki itu.

“Apa yang terjadi dengan teman kami, Pak?” tanya Rendi.

Lelaki itu malah menunduk. Dia mengembuskan napas berat, “Ada hal yang dilanggarnya,” kata lelaki misterius itu.

“Apa?” tanyaku.

Sebelum lelaki itu menjawab, kami mendengar kembali teriakan Arin. Kini suaranya terdengar sangat jelas. Kami pun segera menoleh ke belakang.

“Arin!?”

Suara itu menggema, tapi tanpa wujud. Dan, saat kami membalikkan badan, lelaki misterius itu hilang begitu saja. Ke mana dia?

"Kayaknya kita pulang aja deh," saran Rendi.

"Aku masih penarasan, Ren. Ada yang nggak beres sama wahana ini."

Saat kami sedang mengobrol, kulihat seorang wanita berdiri di dekat gerbang. Aku ingat wajah wanita itu, dia wanita misterius yang pernah duduk di samping Arin saat naik wahana ombak banyu

Wanita itu masih berdiri di depan gerbang. Dia menatap kami dengan ekspresi datar. Perlahan dan dengan hati-hati aku menghampiri wanita itu, sementara Rendi mengikutiku dari belakang.

"Itu siapa?" tanya Rendi berbisik-bisik.

"Itu wanita yang pernah kulihat pas kita naik ombak banyu," jawabku pelan.

Kami semakin mendekat ke arah wanita itu. Dia tidak bergerak sama sekali. Dia masih berdiri di sana.

"Kamu siapa?" tanyaku, namun dia tetap diam.

"Mendingan kita pulang aja yuk," bujuk Rendi. Mungkin dia mulai curiga kalau yang berdiri di hadapan kami itu bukanlah manusia.

"Sepuluh tahun lalu, 20 orang mati di sini," teriak wanita itu secara tiba-tiba.

Teriakan itu sangat keras. Aku belum pernah mendengar teriakan sekencang itu, kedua telingaku sakit. Sambil terpejam, kututup telingaku dengan tangan. Aku dan Rendi meringis kesakitan. Rendi pun buru-buru menarik lenganku. Dia membawaku keluar dari kawasan wahana itu.

***​

Dari kejadian semalam, aku mendapat sebuah petunjuk. Lelaki misterius itu bilang kalau si Arin telah melakukan kesalahan di dalam wahana rumah hantu. Tapi apa kesalahan itu? Satu satunya orang yang bisa menjawab pertanyaan ini adalah Dion. Ya, dia yang masuk ke rumah hantu itu bersama Arin.

Aku dan Rendi pun berangkat ke rumah Dion. Saat kami temui, ternyata dia sedang tidak ada di rumah. Dari kemarin Dion memang sulit sekali dihubungi. Nomor teleponnya tidak aktif, kata orangtuanya si Dion lagi ada urusan di kampung.

"Kalau boleh kami tahu, kampungnya di mana ya, Bu?" tanyaku. Dia pun menyebutkan nama kampung itu.

"Aku tahu itu di mana," ujar Rendi.

"Ya sudah kita susul aja dia," kataku.

"Memang ada urusan apa ya sama Dion? Kok kayaknya mendesak sekali," tanya ibunya Dion.

Aku dan Rendi terdiam sejenak dan salah tingkah, "Em... ada tugas kuliah yang harus kami selesaikan bersama Bu," kata Rendi berbohong.

"Oh, begitu ya sudah susul aja ke sana. Kalau udah sampai di kampungnya Dion, tanya saja di mana rumah ambu Minah. Itu rumahnya nenek Dion. Dia menginap di rumah neneknya," jelas ibunya Dion.

Perjalanan dari rumah Dion ke kampung itu memakan waktu empat jam. Aku dan Rendi naik kereta dan setibanya di stasiun, kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan angkot. Sekitar jam lima sore, kami akhirnya tiba di kampung itu. Di sepanjang jalan kuperhatikan Rendi sering sekali memijat bagian lehernya sendiri.

"Kamu sakit?" tanyaku.

"Nggak kok. Aku kayaknya salah posisi tidur nih. Jadinya leherku pegel banget."

"Oh, begitu. Nanti di rumah neneknya Dion aku pijitin ya," kataku.

"Thanks, Sayang," Rendi tersenyum.

Setelah kami bertanya sana-sini soal lokasi rumahnya ambu Minah, ternyata rumah nenek Dion itu terpisah dari perkampungan. Kami harus melintasi pematang sawah terlebih dahulu untuk sampai ke sana.

Seperti rumah adat Jawa pada umumnya, rumah ambu Minah dindingnya terbuat dari papan. Ada empat tiang penyangga di bagian depan. Juga ada dua buah kursi kayu dan sebuah guci air di beranda rumahnya.

"Permisi...," aku mengetuk pintu rumah itu.

Perlahan pintu pun terbuka. Seorang nenek muncul dari dalam rumah. Rambutnya sudah penuh uban, semuanya putih. Dia mengenakan kaus partai dan celana hitam.

"Cari siapa ya?" tanya nenek itu. Suaranya lemah dan agak serak.

"Kami temannya Dion, Nek. Dionnya ada?" tanyaku.

"Oalah, ayo masuk. Dion lagi tidur di kamar. Dari semalam dia sakit."

"Sakit apa, Nek?" tanya Rendi.

"Badanya bentol-bentol," kata ambu Minah.

Saat kutengok Dion di kamarnya, dia sedang tidur pulas. Wajahnya bengkak, tubuhnya penuh bentol. Aku semakin curiga kalau Dion juga melakukan kesalahan di rumah hantu itu. Penyakitnya aneh sekali dan tidak wajar.



Sampai malam tiba, Dion tidak kunjung bangun. Dia tidur dengan sangat nyenyak. Aku tak tega kalau harus membangunkannya. Kami akhirnya menginap di rumah ambu Minah, kebetulan dia sangat baik dan mengizinkan kami untuk menginap di rumahnya.


Ambu Minah memang hanya tinggal sendirian di rumah itu. Suaminya sudah lama meninggal. Kata ambu Minah, dia senang kalau ada orang yang bertamu ke rumahnya. Apalagi kalau sampai menginap.

Aku tidur di kamar dekat dapur, sedangkan Rendi tidur di kamar yang bersebelahan dengan kamarnya Dion. Tepat jam dua belas malam, tiba-tiba aku terbangun. Kudengar ada suara erangan seorang lelaki di luar.

Pelan-pelan kuintip dari balik pintu kamarku. Ternyata erangan itu berasal dari kamar Rendi. Kenapa dia?

Dengan panik aku segera lari ke kamarnya Rendi. Pintunya terkunci. Kugedor-gedor dari luar sambil berteriak memanggil namanya. Tapi Rendi tidak mau membukakan pintu.

Mendengar kegaduhan itu ambu Minah pun muncul dari dalam kamarnya. Dia juga panik dan langsung menanyakan apa yang sedang terjadi.

“Ada apa?!” tanya ambu Minah dengan panik.

“Rendi kayak teriak kesakitan! Gimana ini, Mbu?” tanyaku. Aku berusaha mendobrak pintu itu, namun tidak bisa.

Dengan tergopoh-gopoh, ambu Minah pergi ke dapur. “Nak, pakai ini!” kata ambu Minah. Aku segera menghampirinya ke dapur.

Dia menyerahkan linggis kepadaku. Tanpa ancang-ancang lagi kucongkel pintu itu menggunakan linggis. Aku sempat kesulitan mendobraknya, tapi akhirnya pintu itu berhasil kudobrak. Di hadapanku, tampak Rendi sedang berdiri sambil mengamuk kesakitan.

Ia memegangi leher. Kedua matanya masih terpejam. Sepertinya Rendi tak sadarkan diri. Dan, yang membuatku terkejut, ada wanita berwajah pucat yang duduk di atas pundaknya Rendi. Dia adalah wanita misterius yang pernah kulihat di wahana malam itu.

Ambu Minah menarik lenganku. Dia juga tampak ketakutan melihat penampakan wanita itu. Dia pun pergi ke kamarnya dan kembali dengan membawa sebuah jimat. Jimat itu berbentuk seperti patung manusia namun ukurannya kecil hanya segenggaman tangan.

Ambu Minah melemparkan jimatnya ke arah Rendi. Seketika makhluk gaib di atas pundak Rendi hilang begitu saja. Rendi pun tersadar, napasnya terengah-engah. Aku menghampiri Rendi lalu memeluknya dengan arat sambil menangis sesenggukan.

“Kamu baik-baik aja kan?” tanyaku.

“Iya, Sayang, aku baik-baik aja.”

Kami lalu mendatangi kamar Dion untuk memeriksa keadaannya. Kulihat dia sedang duduk di atas tempat tidurnya sambil menunduk. Kini wajahnya sudah tidak berbentuk. Bentolan kecil itu malah menjadi benjolan besar berwarna merah mau meledak.

“Astaghfirullah…,” gumam Rendi.

“Bagaimana ini, Mbu…?” tanyaku pada ambu Minah.

“Sepertinya ada makhluk gaib yang mengikuti kalian. Sebenarnya apa yang telah kalian perbuat?” tanya ambu Minah.

“Kami tidak tahu, Mbu. Hanya Dion satu-satunya orang yang tahu jawaban itu. Dia masuk ke rumah hantu bersama Arin. Si Arin juga udah lama hilang," jawab Rendi.

Tak lama berselang, Dion perlahan berdiri. Kepalanya masih tertunduk seperti ada yang sedang mengendalikan tubuhnya.

“Dion?” Rendi menghampirinya sambil mengguncangkan bahu Dion.

“Dion, sadar, Dion!” kata Rendi. Tapi, Dion tetap diam saja.

Ambu Minah mengambil kembali jimat tadi dari dalam kamar Rendi. Dia lalu menempelkan jimat itu di kening cucunya. Dion pun lunglai. Dia terkapar di atas lantai. Aku dan Rendi menggotong tubuh Dion yang terasa sangat berat seperti ada yang menaiki tubuhnya Dion.

Keesokan paginya, kondisi Dion semakin parah. Benjolan di wajahnya pecah satu persatu. Kulitnya terkelupas dan darah acak-acakan di atas bantal. Dion masih hidup, tapi tetap tak sadarkan diri. Rendi menyarankan agar Dion di bawa ke rumah sakit, tapi ambu Minah melarangnya.

“Ini bukan penyakit biasa. Aku akan minta tolong ke orang sakti di kampung ini,” ujar ambu Minah.

Rendi dan Dion sudah mendapat teror dari makhluk gaib. Mungkin yang selanjutnya aku. Tapi apa sebenarnya salah kami?

Kedua orang tua Dion akhirnya datang. Mereka sangat panik melihat keadaan anaknya yang seperti itu. Walau dilarang ambu Minah, tapi kedua orang tuanya Dion tetap membawa anaknya ke rumah sakit.

Aku dan Rendi pun ikut ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit Dion masih tidak sadarkan diri. Penyakit yang diidapnya memang tak wajar. Seharusnya Dion dibawa ke dukun saja menurutku.

Sepenjang perjalanan ke rumah sakit, bahkan sesampainya di sana, aku masih memikirkan wahana itu. Segera kuraih smartphone dari dalam saku celanaku, lalu kucari informasi seputar wahana malam di daerah Cisetu. Dari penelusuran, aku menemukan berbagai berita lawas dan sejarah kelam wahana itu.

Pada tahun 2000, ada sepuluh orang mati di wahana ini akibat tertimpa komidi putar yang roboh. Wahana itu pun dikabarkan sempat ditutup satu tahun, lalu dibuka kembali.

Lalu, pada tahun 2003 insiden mengerikan terjadi lagi. Akibat insiden itu sebanyak sembilan nyawa melayang. Mereka semua mati karena jatuh dari atas bianglala yang juga roboh.

Sempat tiga tahun ditutup pasca tragedi berdarah itu, wahana tersebut pun akhirnya kembali dibuka. Dan tiga tahun kemudian ada seorang wanita yang meninggal di wahana itu karena terpental dari ombak banyu.

Aku heran. Kenapa masih ada saja yang mengizinkan wahana itu beroperasi? Padahal sudah banyak orang yang mati di sana. Berita-berita itu membuatku terus memikirkan banyak hal, termasuk kaitannya dengan penyakit aneh Dion.

Dion langsung dibawa ke ruang rawat inap rumah sakit. Dokter dan perawat sibuk memeriksa keadaannya. Selang infus dipasang di pergelangan tangan kirinya. Dion juga diberi alat bantu pernapasan. Kedua orang tua Dion menangis melihat keadaan anaknya itu.

“Apa penyakitnya, Dok?” tanya ibunya Dion.

“Kemungkinan besar anak ibu terkena alergi. Kami sudah mengambil sampel darahnya dan akan diperiksa lebih lanjut di laboratorium. Ibu tenang saja, kami akan berusaha sebisa mungkin untuk menolong anak ibu,” kata dokter itu dengan ramah.

Malam semakin larut. Kedua orang tua Dion tidur di samping ranjang anaknya, dan Rendi tidur di luar tepatnya di kursi pasien. Sementara pacarku tampaknya sangat kelelahan. Aku sendiri tidak bisa tidur, hatiku tidak tenang. Aku masih penasaran apa yang dilakukan Dion dan Arin di dalam rumah hantu itu?

Saat aku melamun, tiba-tiba Dion mengacungkan tangan kanannya. Aku kaget dan segera menghampiri Dion.

“Sarah…,” desis Dion.

Aku hendak membangunkan kedua orang tuanya. Tapi Dion mencegahku untuk melakukannya.

“Jangan…,” desisnya lagi.

“Gua minta maaf. Semua ini salah gua," kata Dion dengan intonasi bicaranya pelan.

“Apa yang lu lakuin sama Arin di rumah hantu itu?” tanyaku.

“Gua udah lama suka sama Arin. Dan, waktu itu gua nembak dia. Entah kenapa kami malah ciuman di dalam rumah hantu itu," jawab Dion. Air matanya mulai keluar.

“Astaga…!” aku benar-benar terkejut mendengar pernyataannya.

Dari pintu, muncullah ambu Minah. Dia bersama seorang lelaki yang tampaknya orang pintar. Lelaki paruh baya itu mengenakan baju warna hitam dan blangkon hitam.

“Wah ini sih dikerjain setan,” kata lelaki itu.

“Tolong cucu saya, Bah,” pinta ambu Minah.

Kemudian lelaki yang dipanggil Abah itu membakar menyan. Mendengar suara agak gaduh, kedua orang tua Dion bangun. Mereka bingung apa yang sedang terjadi. Apalagi saat melihat anaknya sudah sadar. Ibu Dion hendak memanggil dokter, tapi ambu Minah melarangnya.

“Ini masalah gaib. Percayalah, anakmu akan selamat,” kata ambu Minah.

Dukun itu tampak berkomat-kamit. Dia lalu meringis seperti menahan sakit. Tangan kanannya diarahkan ke tubuh Dion. Dia seperti sedang menarik sesuatu dari dalam tubuh Dion. Urat leher dukun itu sampai terlihat jelas.

Saat itu juga Dion muntah. Dia mengeluarkan dua gumpalan daging dari dalam mulutnya. Daging itu berbentuk bulat dan berlumur darah. Dion pun kembali tak sadarkan diri.

Namun, keesokan paginya, kondisi Dion membaik. Dia sudah bisa makan, benjolan di sekujur tubuhnya mulai kempes. Dukun itu memang sangat sakti. Apa salahnya minta tolong ke dia untuk mencari keberadaan Arin.

Untungnya, dia bersedia. Nama dukun itu ternyata Abah Sidik. Dia bilang kalau Arin masih hidup. Arin terjebak di wahana malam itu.

“Sangat mudah untuk menyelamatkan temanmu itu,” ujar Abah Sidik. Dia sedang sarapan pagi di ruangan tempat Dion dirawat.

“Bagaimana caranya, Bah?” tanya Rendi.

Dukun itu mengeluarkan cermin kecil dari dalam tasnya. “Datanglah ke sana dan pakai cermin ini. Kalian bisa melihat keberadaan teman kalian melalui cermin itu,” ujar Abah Sidik.

Rendi menerima cermin pemberian Abah Sidik. Bingkai cermin itu terbuat dari kayu. Ada gagangnya seperti kipas.

“Kalau kalian sudah menemukannya, taburkan garam ini di lokasi tersebut. Nanti teman kalian akan keluar dari alam gaib,” tambah abah Sidik.

“Terima kasih, Bah. Kami akan coba saran abah,” timpalku.

***​

Dua hari kemudian, aku dan Rendi kembali ke wahana itu. Kami hanya bisa ke sana malam hari karena takut dipergoki warga sekitar. Rendi langsung mengeluarkan cermin dan mengarahkannya ke segala arah. Dari cermin itu kami melihat hal yang sangat mengerikan.

Wahana itu dipenuhi 'pengunjung'. Wajah mereka hancur. Ada yang bola matanya keluar, ada yang lidahnya terjulur sampai ke tanah, dan ada yang tak punya kepala. Juga banyak anak-anak perempuan yang berpakaian putih. Mereka berlarian ke sana-kemari sambil tertawa cekikikan. Padahal secara kasat mata, wahana ini sepi sekali.

Aku dan Rendi terus memberanikan diri untuk mencari keberadaan Arin. Anehnya, kami belum juga menemukannya.

“Coba angkat ke atas,” saranku.

Rendi mengarahkan cermin itu ke atas. Dari atas sana tampak Arin menggantung di atas bianglala. Dia tak sadarkan diri. Bajunya nyangkut di bianglala itu.

“Di sana!” kataku sambil lari ke arah bianglala.

Rendi pun mengeluarkan garam dari dalam sakunya. Dia melemparkan garam itu ke arah bianglala. Seketika saja, wujud Arin tampak jelas menggantung di atas sana. Aku pun menelepon polisi.

Tak lama kemudian ternyata para polisi datang. Mereka pun langsung menghubungi damkar untuk menurunkan Arin.

Petugas damkar berhasil menyelamatkan Arin. Dia masih hidup. Kondisinya sangat memperihatinkan. Wajahnya pucat dan bibirnya kering. Dia langsung dibawa ke rumah sakit.

“Sayang, ayo kita ikut Arin ke rumah sakit,” kataku sambil menoleh ke belakang. Namun, Rendi justru tidak ada. Di mana dia?

“Rendi?” aku sangat panik. Aku takut kalau-kalau dia diculik setan.

Dari kejauhan, kulihat Rendi berdiri di dekat ombak banyu dengan seorang wanita. Aku tidak dapat melihat jelas siapa wanita itu. Kuhampiri Rendi. Semakin dekat, wajah wanita itu semakin jelas. Dia adalah wanita yang pernah duduk di samping Arin. Dia juga yang beberapa hari lalu mengganggu Rendi.

“Kita sudah beda alam. Jangan ikuti aku lagi,” kata Rendi. Nada bicaranya terdengar sedih.

Wanita itu menggelengkan kepala pelan. Matanya mulai basah, satu dua bulir air mata menetes di pipinya.

“Aku selalu mendoakan kamu Amira. Tapi kali ini aku mohon jangan ganggu kehidupanku lagi,” ujar Rendi.

“Sekarang tenanglah di alamu, Sayang…,” Rendi mengeluarkan sisa garam dari dalam sakunya. Ia lalu melemparkannya ke tubuh wanita itu.

Wanita itu menangis sejadi-jadinya. Dia pun perlahan menghilang begitu saja.

***​

Rendi awalnya tidak mau cerita siapa sebenarnya wanita itu. Tapi setelah aku memaksanya dan mengancam putus, dia akhirnya cerita semuanya. Amira itu adalah mantan kekasihnya. Ternyata dia adalah wanita yang meninggal akibat jatuh dari wahana ombak banyu. Pantas saja Rendi menolak saat diajak ke wahana itu.

Beberapa tahun kemudian, kami lulus dari kampus. Namun, kejadian itu masih membekas di benakku dan tak akan pernah kulupakan.

Satu hal yang kupelajari bahwa manusia tidak hidup sendirian di dunia ini. Ada makhluk tak kasat mata yang hidup berdampingan dengan manusia. Mereka ada di sekeliling kita. Atau, bahkan tidur bersama kita setiap malam. Maka jangan bertindak atau berkata sembarangan.

SELESAI
 
Sesekali kubuka mata dan saat itulah kulihat ada seorang perempuan yang duduk di samping kiri si Arin. Padahal aku ingat betul kalau tadi tidak ada siapa
Di ondespot ada nih waktu itu, bukan foto lagi tapi video beberapa pemuda naik kora² trus saat video berputar kearah orang yg paling ujung secara ga sengaja malah menangkap sesosok mahluk yg (kayaknya) ikutan main kora² juga disampingnya. Serem loh jelas banget videonya, cari aja di youtube. Ada kok :mindik:

Duh lanjut tidur lagi ah :mindik:
 
Di ondespot ada nih waktu itu, bukan foto lagi tapi video beberapa pemuda naik kora² trus saat video berputar kearah orang yg paling ujung secara ga sengaja malah menangkap sesosok mahluk yg (kayaknya) ikutan main kora² juga disampingnya. Serem loh jelas banget videonya, cari aja di youtube. Ada kok :mindik:

Duh lanjut tidur lagi ah :mindik:
Jangan2 wahana nya bner2 angker yak wkwkwk
 
cerita horor ini punya mbah ngesot. jika berkenan izinkan aku post disini, jika keberatan nanti bisa di hapus. oke tq



yak, untuk meramaikan khasanah perhororan, simak cerita ini dan bejimana
horor nya.

.........

Kenalkan, aku Sarah. Tahun lalu sekitar pertengahan bulan Agustus, aku dan teman-temanku mengalami kejadian mengerikan di sebuah wahana angker. Ini semua gara-gara Dion kalau saja dia tidak mengajak kami main ke wahana itu mungkin petaka ini tak akan pernah menimpa kami.

Dion itu salah satu sahabatku. Jadi, kami tuh sahabatan empat orang. Aku, Dion, Rendi (dia pacarku), dan satu lagi si Arin. Persahabatan kami sudah terjalin dari sejak lama.

Di suatu siang, kami berempat sedang kumpul di kantin. Awalnya obrolan kami membahas dosen killer yang suka mengusir mahasiswa dari kelas. Tiba-tiba topik obrolan kami beralih membahas wahana malam. Kata Dion di dekat sini ada wahana malam yang seru banget.

“Pokoknya kalian nggak akan kecewa. Ayolah kita ke sana,” kata Dion, ekspresi wajahnya penuh semangat.

“Emang wahananya daerah mana sih?” tanya Rendi penasaran.

“Di dekat Cisetu. Nih, kalian lihat,” Dion menunjukkan foto di smartphone-nya.

Kami semua mendekat ke layar itu, “Kayaknya seru juga sih,” kataku.

“Ya udah ke sana aja kita,” Arin adalah orang pertama yang menyetujui ajakan Dion.

“Percaya sama gua, kita pasti have fun di sana,” ujar Dion, dia lalu meminum jus jeruknya.

“Ya udah kapan?” tanya Rendi.

“Nanti malem aja gimana? Pada punya waktu luang kan?” Dion tanya balik.

“Boleh-boleh,” Arin langsung setuju saja.

Rendi tampak sedang mengingat-ingat sesuatu. Mungkin dia punya rencana lain nanti malam.

“Gimana, Sayang?” tanyaku ke Rendi.

“Sebenarnya gua mau ngerjain proposal sih,” kata Rendi. Pacarku ini emang seorang aktivis.

“Yah…,” Arin kecewa.

“Ayolah, Ren. Malam ini aja,” bujuk Dion.

“Ya udah deh, gua ikut, tapi jangan lama-lama ya. gua masih ada kerjaan," akhirnya Rendi menyetujui ajakan Dion.

"Hahaha... siap! Pokoknya gua jamin wahananya keren banget," Dion mengacungkan jempolnya.

Malam itu juga kami pergi ke wahana malam. Sesampainya di sana, aku melihat tidak ada yang aneh dari wahana itu, suasananya gemerlap oleh lampu warna-warni. Ada banyak pilihan wahana di sana seperti bianglala, komedi putar, rumah hantu, ombak banyu, komedi putar, dan masih banyak lagi.

“Kita mau nyoba apa dulu nih?” tanya Dion.

“Ombak banyu seru kayaknya,” Arin mengusulkan.

Kami semua setuju saja dan langsung menuju wahana ombak banyu. Jujur, sebenarnya aku takut naik wahana itu karena menurutku wahana ombak banyu itu membahayakan. Untung saja ada Rendi, nanti aku bisa pegangan ke tangannya.

Kebetulan saat itu tidak banyak orang yang naik ombak banyu. Aku duduk di samping Rendi Sementara Dion dan Arin duduk di seberangku. Ombak banyu pun mulai berputar-putar perlahan dan semakin lama putarannya semakin kencang. Aku berteriak ketakutan sambil memejamkan mata.

Rendi malah ketawa-ketawa, tampaknya dia senang kalau melihatku ketakutan. Sesekali kubuka mata dan saat itulah kulihat ada seorang perempuan yang duduk di samping kiri si Arin. Padahal aku ingat betul kalau tadi tidak ada siapa-siapa di sana.

Sejenak kuperhatikan wanita itu, dia tertawa-tawa seperti sedang menikmati wahana. Selang beberapa saat putaran ombak banyu melambat dan berhenti seketika. Anehnya wanita yang tadi duduk di samping Arin tiba-tiba hilang begitu saja.

“Rin gua tadi lihat ada orang yang duduk di samping elu,” kataku setelah kami semua turun dari wahana.

“Iya si Dion kan,” jawab Arin santai.

“Bukan Dion, itu cewek kok.”

“Hahaha lu mau nakut-nakutin gua di tempat ramai kayak gini,” Arin malah tertawa.

“Mungkin kamu salah lihat sayang,” Rendi merangkul pundakku.

“Ya udah yuk naik yang lain lagi,” Ajak Dion. Dia kayaknya tidak peduli dengan apa yang kulihat barusan.

“Rumah hantu! Seru kayaknya,” lagi-lagi Arin mengusulkan.

“Iya kayaknya seru nih. Masuknya berdua-berdua ya…,” usul Rendi.

“Iyalah. Lagian aku nggak mau kalau harus sendirian,” kataku sambil melirik manja ke wajah Rendi.

“Iya, Sayang. Aku nggak akan biarin kamu sendiri kok,” Rendi mengelus kepalaku.

“Dih, bucin mulu kalian nih!” kata Arin.

“Biarin aja Rin. Udah syukur mereka jadian. Bayangin mereka udah sama-sama suka dari semester satu dan baru minggu kemarin si Rendi berani nyatain cinta,” Dion menimpali sambil tertawa cekikikan.

“Ya udah yuk,” aja Dion.

Dion dan Arin masuk duluan, sementara aku dan Rendi menunggu di depan pintu rumah hantu. Selang beberapa saat, petugas yang jaga rumah hantu pun menyuruh kami masuk. Aku benar-benar tegang, kupegang erat lengan kanan pacarku.

“Tenang saja, hantunya cuma boongan kok,” Rendi tersenyum.

Suasana di dalam sangat remang. Di sebelah kananku ada burung hantu yang sedang bertengger, dia memperhatikan kami yang melintas di hadapannya. Rumah hantu itu sangat menyeramkan, ada pocong, kuntilanak, genderuwo dan juga drakula. Aku tak sanggup menyaksikan hantu-hantu itu dan sesekali sembunyi di pelukan Rendi.

Lain halnya dengan pacarku itu, bukannya takut dia malah ketawa-ketawa. Tak lama kemudian kami pun keluar dari rumah hantu itu. Di halaman belakang, kulihat Dion sedang berbicara dengan seorang petugas bertubuh kurus, Dio tampak panik.

“Kenapa, Dion?” tanya Rendi.

“Arin…!”

“Arin kenapa?!” tanyaku dengan nada tinggi.

“Arin hilang…,” ujar Dion, dia sangat ketakutan. Keringat membasahi wajahnya seperti orang yang baru saja dikejar-kejar setan.

“Tadi saya sama teman saya masuk ke rumah hantu ini, Pak. Pas kami di dalam, tiba-tiba dia hilang gitu aja," jelas Dion.


Petugas itu lalu berbicara melalui HT, “Monitor, tolong jangan dulu ada yang masuk ke rumah hantu. Kita mau cari orang hilang.”

“Hah, hilang!? Iya-iya, Pak, siap!” kata seseorang melalui HT.

Kami pun masuk kembali ke rumah hantu itu. Tapi anehnya kami tidak menemukan Arin di sana. Malam itu juga kami langsung lapor polisi, rumah hantu itu pun dibongkar. Tapi tetap saja si Arin tidak ditemukan. Ke mana dia? Kedua orang tua Arin benar-benar marah pada pihak pengelola wahana dan akan membawa kasus ini ke pengadilan.

Semua cara sudah dilakukan untuk menemukan Arin. Kami bahkan sudah minta tolong ke orang pintar, takutnya Arin diculik sama jin. Sayangnya dukun itu juga tidak mampu menemukan Arin. Ini benar-benar tidak masuk akal.

Satu minggu setelah Arin hilang, wahana itu benar-benar ditutup. Kabar hilangnya Arin menyebar luas bahkan diberitakan oleh media nasional. Aku masih penasaran ada apa dengan wahana itu.

Apakah memang wahana itu angker? Mungkinkah hilangnya Arin ada kaitannya dengan wanita misterius yang duduk di atas ombak banyu? Kuraih telepon genggamku lalu menghubungi Rendi.

“Ren?”

“Iya, Sayang,” suara Rendi terdengar lemas sekali.

“Kamu lagi di mana?” tanyaku.

“Lagi di rumah nih.”

“Aku masih penasaran sama wahana itu. Antar aku ke sana yuk!” ajakku.

“Mau ngapain?” tanya Rendi lagi.

“Nyari Arin.”

“Kita kan udah cari berhari-hari di sana tetap nggak ada," jelas Rendi.

“Aku punya firasat kalau Arin masih ada di wahana itu," kataku.

Rendi terdiam sejenak. “Sekarang?” tanyanya.

“Iya, Ren.”

“Ya sudah aku jemput sekarang ya.”

Malam itu sekitar jam sembilan kami pun pergi ke wahana tempat Arin hilang. Tampak dari luar, wahana itu masih disegel garis polisi. Gerbangnya ternyata dikunci, kami tidak bisa masuk ke dalam wahana itu.

“Sarah…,” Rendi memanggilku. Dia memang sedang mencari celah untuk bisa masuk ke dalam wahana.

Aku sebenarnya heran, kenapa tidak ada penjaga sama sekali di wahana ini. Seperti dibiarkan terbengkalai begitu saja. Kami menyusuri setiap wahana yang ada di sana, tapi tidak ketemukan hal aneh. Dan, beberapa saat kemudian, kami mendengar sayup-sayup ada yang meminta tolong. Aku sangat kenal itu suaranya si Arin.

“Kamu dengar itu?” tanyaku ke Rendi.

“Iya itu suara Arin. Dari arah sana,” Rendi menunjuk komedi putar.

Kami buru-buru menghampiri komidi putar itu. Namun, tak ada siapa siapa di sana.

“Kalian cari siapa?” entah dari mana datangnya. Tiba-tiba ada seorang lelaki paruh baya berdiri di belakang kami.

“Kami lagi cari teman kami yang hilang di wahana ini, Pak,” jawab Rendi.

“Bapak siapa kok bisa ada di sini?” tanyaku.

“Saya memang tinggal di sini,” jawab lelaki itu.

Aku semakin bingung. Maksudnya apa? Ini kan wahana yang sudah ditutup. Kenapa dia bisa tinggal di sini?

“Pulanglah! Teman kalian tidak akan bisa kembali,” ujar lelaki itu.

“Apa yang terjadi dengan teman kami, Pak?” tanya Rendi.

Lelaki itu malah menunduk. Dia mengembuskan napas berat, “Ada hal yang dilanggarnya,” kata lelaki misterius itu.

“Apa?” tanyaku.

Sebelum lelaki itu menjawab, kami mendengar kembali teriakan Arin. Kini suaranya terdengar sangat jelas. Kami pun segera menoleh ke belakang.

“Arin!?”

Suara itu menggema, tapi tanpa wujud. Dan, saat kami membalikkan badan, lelaki misterius itu hilang begitu saja. Ke mana dia?

"Kayaknya kita pulang aja deh," saran Rendi.

"Aku masih penarasan, Ren. Ada yang nggak beres sama wahana ini."

Saat kami sedang mengobrol, kulihat seorang wanita berdiri di dekat gerbang. Aku ingat wajah wanita itu, dia wanita misterius yang pernah duduk di samping Arin saat naik wahana ombak banyu

Wanita itu masih berdiri di depan gerbang. Dia menatap kami dengan ekspresi datar. Perlahan dan dengan hati-hati aku menghampiri wanita itu, sementara Rendi mengikutiku dari belakang.

"Itu siapa?" tanya Rendi berbisik-bisik.

"Itu wanita yang pernah kulihat pas kita naik ombak banyu," jawabku pelan.

Kami semakin mendekat ke arah wanita itu. Dia tidak bergerak sama sekali. Dia masih berdiri di sana.

"Kamu siapa?" tanyaku, namun dia tetap diam.

"Mendingan kita pulang aja yuk," bujuk Rendi. Mungkin dia mulai curiga kalau yang berdiri di hadapan kami itu bukanlah manusia.

"Sepuluh tahun lalu, 20 orang mati di sini," teriak wanita itu secara tiba-tiba.

Teriakan itu sangat keras. Aku belum pernah mendengar teriakan sekencang itu, kedua telingaku sakit. Sambil terpejam, kututup telingaku dengan tangan. Aku dan Rendi meringis kesakitan. Rendi pun buru-buru menarik lenganku. Dia membawaku keluar dari kawasan wahana itu.

***​

Dari kejadian semalam, aku mendapat sebuah petunjuk. Lelaki misterius itu bilang kalau si Arin telah melakukan kesalahan di dalam wahana rumah hantu. Tapi apa kesalahan itu? Satu satunya orang yang bisa menjawab pertanyaan ini adalah Dion. Ya, dia yang masuk ke rumah hantu itu bersama Arin.

Aku dan Rendi pun berangkat ke rumah Dion. Saat kami temui, ternyata dia sedang tidak ada di rumah. Dari kemarin Dion memang sulit sekali dihubungi. Nomor teleponnya tidak aktif, kata orangtuanya si Dion lagi ada urusan di kampung.

"Kalau boleh kami tahu, kampungnya di mana ya, Bu?" tanyaku. Dia pun menyebutkan nama kampung itu.

"Aku tahu itu di mana," ujar Rendi.

"Ya sudah kita susul aja dia," kataku.

"Memang ada urusan apa ya sama Dion? Kok kayaknya mendesak sekali," tanya ibunya Dion.

Aku dan Rendi terdiam sejenak dan salah tingkah, "Em... ada tugas kuliah yang harus kami selesaikan bersama Bu," kata Rendi berbohong.

"Oh, begitu ya sudah susul aja ke sana. Kalau udah sampai di kampungnya Dion, tanya saja di mana rumah ambu Minah. Itu rumahnya nenek Dion. Dia menginap di rumah neneknya," jelas ibunya Dion.

Perjalanan dari rumah Dion ke kampung itu memakan waktu empat jam. Aku dan Rendi naik kereta dan setibanya di stasiun, kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan angkot. Sekitar jam lima sore, kami akhirnya tiba di kampung itu. Di sepanjang jalan kuperhatikan Rendi sering sekali memijat bagian lehernya sendiri.

"Kamu sakit?" tanyaku.

"Nggak kok. Aku kayaknya salah posisi tidur nih. Jadinya leherku pegel banget."

"Oh, begitu. Nanti di rumah neneknya Dion aku pijitin ya," kataku.

"Thanks, Sayang," Rendi tersenyum.

Setelah kami bertanya sana-sini soal lokasi rumahnya ambu Minah, ternyata rumah nenek Dion itu terpisah dari perkampungan. Kami harus melintasi pematang sawah terlebih dahulu untuk sampai ke sana.

Seperti rumah adat Jawa pada umumnya, rumah ambu Minah dindingnya terbuat dari papan. Ada empat tiang penyangga di bagian depan. Juga ada dua buah kursi kayu dan sebuah guci air di beranda rumahnya.

"Permisi...," aku mengetuk pintu rumah itu.

Perlahan pintu pun terbuka. Seorang nenek muncul dari dalam rumah. Rambutnya sudah penuh uban, semuanya putih. Dia mengenakan kaus partai dan celana hitam.

"Cari siapa ya?" tanya nenek itu. Suaranya lemah dan agak serak.

"Kami temannya Dion, Nek. Dionnya ada?" tanyaku.

"Oalah, ayo masuk. Dion lagi tidur di kamar. Dari semalam dia sakit."

"Sakit apa, Nek?" tanya Rendi.

"Badanya bentol-bentol," kata ambu Minah.

Saat kutengok Dion di kamarnya, dia sedang tidur pulas. Wajahnya bengkak, tubuhnya penuh bentol. Aku semakin curiga kalau Dion juga melakukan kesalahan di rumah hantu itu. Penyakitnya aneh sekali dan tidak wajar.



Sampai malam tiba, Dion tidak kunjung bangun. Dia tidur dengan sangat nyenyak. Aku tak tega kalau harus membangunkannya. Kami akhirnya menginap di rumah ambu Minah, kebetulan dia sangat baik dan mengizinkan kami untuk menginap di rumahnya.


Ambu Minah memang hanya tinggal sendirian di rumah itu. Suaminya sudah lama meninggal. Kata ambu Minah, dia senang kalau ada orang yang bertamu ke rumahnya. Apalagi kalau sampai menginap.

Aku tidur di kamar dekat dapur, sedangkan Rendi tidur di kamar yang bersebelahan dengan kamarnya Dion. Tepat jam dua belas malam, tiba-tiba aku terbangun. Kudengar ada suara erangan seorang lelaki di luar.

Pelan-pelan kuintip dari balik pintu kamarku. Ternyata erangan itu berasal dari kamar Rendi. Kenapa dia?

Dengan panik aku segera lari ke kamarnya Rendi. Pintunya terkunci. Kugedor-gedor dari luar sambil berteriak memanggil namanya. Tapi Rendi tidak mau membukakan pintu.

Mendengar kegaduhan itu ambu Minah pun muncul dari dalam kamarnya. Dia juga panik dan langsung menanyakan apa yang sedang terjadi.

“Ada apa?!” tanya ambu Minah dengan panik.

“Rendi kayak teriak kesakitan! Gimana ini, Mbu?” tanyaku. Aku berusaha mendobrak pintu itu, namun tidak bisa.

Dengan tergopoh-gopoh, ambu Minah pergi ke dapur. “Nak, pakai ini!” kata ambu Minah. Aku segera menghampirinya ke dapur.

Dia menyerahkan linggis kepadaku. Tanpa ancang-ancang lagi kucongkel pintu itu menggunakan linggis. Aku sempat kesulitan mendobraknya, tapi akhirnya pintu itu berhasil kudobrak. Di hadapanku, tampak Rendi sedang berdiri sambil mengamuk kesakitan.

Ia memegangi leher. Kedua matanya masih terpejam. Sepertinya Rendi tak sadarkan diri. Dan, yang membuatku terkejut, ada wanita berwajah pucat yang duduk di atas pundaknya Rendi. Dia adalah wanita misterius yang pernah kulihat di wahana malam itu.

Ambu Minah menarik lenganku. Dia juga tampak ketakutan melihat penampakan wanita itu. Dia pun pergi ke kamarnya dan kembali dengan membawa sebuah jimat. Jimat itu berbentuk seperti patung manusia namun ukurannya kecil hanya segenggaman tangan.

Ambu Minah melemparkan jimatnya ke arah Rendi. Seketika makhluk gaib di atas pundak Rendi hilang begitu saja. Rendi pun tersadar, napasnya terengah-engah. Aku menghampiri Rendi lalu memeluknya dengan arat sambil menangis sesenggukan.

“Kamu baik-baik aja kan?” tanyaku.

“Iya, Sayang, aku baik-baik aja.”

Kami lalu mendatangi kamar Dion untuk memeriksa keadaannya. Kulihat dia sedang duduk di atas tempat tidurnya sambil menunduk. Kini wajahnya sudah tidak berbentuk. Bentolan kecil itu malah menjadi benjolan besar berwarna merah mau meledak.

“Astaghfirullah…,” gumam Rendi.

“Bagaimana ini, Mbu…?” tanyaku pada ambu Minah.

“Sepertinya ada makhluk gaib yang mengikuti kalian. Sebenarnya apa yang telah kalian perbuat?” tanya ambu Minah.

“Kami tidak tahu, Mbu. Hanya Dion satu-satunya orang yang tahu jawaban itu. Dia masuk ke rumah hantu bersama Arin. Si Arin juga udah lama hilang," jawab Rendi.

Tak lama berselang, Dion perlahan berdiri. Kepalanya masih tertunduk seperti ada yang sedang mengendalikan tubuhnya.

“Dion?” Rendi menghampirinya sambil mengguncangkan bahu Dion.

“Dion, sadar, Dion!” kata Rendi. Tapi, Dion tetap diam saja.

Ambu Minah mengambil kembali jimat tadi dari dalam kamar Rendi. Dia lalu menempelkan jimat itu di kening cucunya. Dion pun lunglai. Dia terkapar di atas lantai. Aku dan Rendi menggotong tubuh Dion yang terasa sangat berat seperti ada yang menaiki tubuhnya Dion.

Keesokan paginya, kondisi Dion semakin parah. Benjolan di wajahnya pecah satu persatu. Kulitnya terkelupas dan darah acak-acakan di atas bantal. Dion masih hidup, tapi tetap tak sadarkan diri. Rendi menyarankan agar Dion di bawa ke rumah sakit, tapi ambu Minah melarangnya.

“Ini bukan penyakit biasa. Aku akan minta tolong ke orang sakti di kampung ini,” ujar ambu Minah.

Rendi dan Dion sudah mendapat teror dari makhluk gaib. Mungkin yang selanjutnya aku. Tapi apa sebenarnya salah kami?

Kedua orang tua Dion akhirnya datang. Mereka sangat panik melihat keadaan anaknya yang seperti itu. Walau dilarang ambu Minah, tapi kedua orang tuanya Dion tetap membawa anaknya ke rumah sakit.

Aku dan Rendi pun ikut ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit Dion masih tidak sadarkan diri. Penyakit yang diidapnya memang tak wajar. Seharusnya Dion dibawa ke dukun saja menurutku.

Sepenjang perjalanan ke rumah sakit, bahkan sesampainya di sana, aku masih memikirkan wahana itu. Segera kuraih smartphone dari dalam saku celanaku, lalu kucari informasi seputar wahana malam di daerah Cisetu. Dari penelusuran, aku menemukan berbagai berita lawas dan sejarah kelam wahana itu.

Pada tahun 2000, ada sepuluh orang mati di wahana ini akibat tertimpa komidi putar yang roboh. Wahana itu pun dikabarkan sempat ditutup satu tahun, lalu dibuka kembali.

Lalu, pada tahun 2003 insiden mengerikan terjadi lagi. Akibat insiden itu sebanyak sembilan nyawa melayang. Mereka semua mati karena jatuh dari atas bianglala yang juga roboh.

Sempat tiga tahun ditutup pasca tragedi berdarah itu, wahana tersebut pun akhirnya kembali dibuka. Dan tiga tahun kemudian ada seorang wanita yang meninggal di wahana itu karena terpental dari ombak banyu.

Aku heran. Kenapa masih ada saja yang mengizinkan wahana itu beroperasi? Padahal sudah banyak orang yang mati di sana. Berita-berita itu membuatku terus memikirkan banyak hal, termasuk kaitannya dengan penyakit aneh Dion.

Dion langsung dibawa ke ruang rawat inap rumah sakit. Dokter dan perawat sibuk memeriksa keadaannya. Selang infus dipasang di pergelangan tangan kirinya. Dion juga diberi alat bantu pernapasan. Kedua orang tua Dion menangis melihat keadaan anaknya itu.

“Apa penyakitnya, Dok?” tanya ibunya Dion.

“Kemungkinan besar anak ibu terkena alergi. Kami sudah mengambil sampel darahnya dan akan diperiksa lebih lanjut di laboratorium. Ibu tenang saja, kami akan berusaha sebisa mungkin untuk menolong anak ibu,” kata dokter itu dengan ramah.

Malam semakin larut. Kedua orang tua Dion tidur di samping ranjang anaknya, dan Rendi tidur di luar tepatnya di kursi pasien. Sementara pacarku tampaknya sangat kelelahan. Aku sendiri tidak bisa tidur, hatiku tidak tenang. Aku masih penasaran apa yang dilakukan Dion dan Arin di dalam rumah hantu itu?

Saat aku melamun, tiba-tiba Dion mengacungkan tangan kanannya. Aku kaget dan segera menghampiri Dion.

“Sarah…,” desis Dion.

Aku hendak membangunkan kedua orang tuanya. Tapi Dion mencegahku untuk melakukannya.

“Jangan…,” desisnya lagi.

“Gua minta maaf. Semua ini salah gua," kata Dion dengan intonasi bicaranya pelan.

“Apa yang lu lakuin sama Arin di rumah hantu itu?” tanyaku.

“Gua udah lama suka sama Arin. Dan, waktu itu gua nembak dia. Entah kenapa kami malah ciuman di dalam rumah hantu itu," jawab Dion. Air matanya mulai keluar.

“Astaga…!” aku benar-benar terkejut mendengar pernyataannya.

Dari pintu, muncullah ambu Minah. Dia bersama seorang lelaki yang tampaknya orang pintar. Lelaki paruh baya itu mengenakan baju warna hitam dan blangkon hitam.

“Wah ini sih dikerjain setan,” kata lelaki itu.

“Tolong cucu saya, Bah,” pinta ambu Minah.

Kemudian lelaki yang dipanggil Abah itu membakar menyan. Mendengar suara agak gaduh, kedua orang tua Dion bangun. Mereka bingung apa yang sedang terjadi. Apalagi saat melihat anaknya sudah sadar. Ibu Dion hendak memanggil dokter, tapi ambu Minah melarangnya.

“Ini masalah gaib. Percayalah, anakmu akan selamat,” kata ambu Minah.

Dukun itu tampak berkomat-kamit. Dia lalu meringis seperti menahan sakit. Tangan kanannya diarahkan ke tubuh Dion. Dia seperti sedang menarik sesuatu dari dalam tubuh Dion. Urat leher dukun itu sampai terlihat jelas.

Saat itu juga Dion muntah. Dia mengeluarkan dua gumpalan daging dari dalam mulutnya. Daging itu berbentuk bulat dan berlumur darah. Dion pun kembali tak sadarkan diri.

Namun, keesokan paginya, kondisi Dion membaik. Dia sudah bisa makan, benjolan di sekujur tubuhnya mulai kempes. Dukun itu memang sangat sakti. Apa salahnya minta tolong ke dia untuk mencari keberadaan Arin.

Untungnya, dia bersedia. Nama dukun itu ternyata Abah Sidik. Dia bilang kalau Arin masih hidup. Arin terjebak di wahana malam itu.

“Sangat mudah untuk menyelamatkan temanmu itu,” ujar Abah Sidik. Dia sedang sarapan pagi di ruangan tempat Dion dirawat.

“Bagaimana caranya, Bah?” tanya Rendi.

Dukun itu mengeluarkan cermin kecil dari dalam tasnya. “Datanglah ke sana dan pakai cermin ini. Kalian bisa melihat keberadaan teman kalian melalui cermin itu,” ujar Abah Sidik.

Rendi menerima cermin pemberian Abah Sidik. Bingkai cermin itu terbuat dari kayu. Ada gagangnya seperti kipas.

“Kalau kalian sudah menemukannya, taburkan garam ini di lokasi tersebut. Nanti teman kalian akan keluar dari alam gaib,” tambah abah Sidik.

“Terima kasih, Bah. Kami akan coba saran abah,” timpalku.

***​

Dua hari kemudian, aku dan Rendi kembali ke wahana itu. Kami hanya bisa ke sana malam hari karena takut dipergoki warga sekitar. Rendi langsung mengeluarkan cermin dan mengarahkannya ke segala arah. Dari cermin itu kami melihat hal yang sangat mengerikan.

Wahana itu dipenuhi 'pengunjung'. Wajah mereka hancur. Ada yang bola matanya keluar, ada yang lidahnya terjulur sampai ke tanah, dan ada yang tak punya kepala. Juga banyak anak-anak perempuan yang berpakaian putih. Mereka berlarian ke sana-kemari sambil tertawa cekikikan. Padahal secara kasat mata, wahana ini sepi sekali.

Aku dan Rendi terus memberanikan diri untuk mencari keberadaan Arin. Anehnya, kami belum juga menemukannya.

“Coba angkat ke atas,” saranku.

Rendi mengarahkan cermin itu ke atas. Dari atas sana tampak Arin menggantung di atas bianglala. Dia tak sadarkan diri. Bajunya nyangkut di bianglala itu.

“Di sana!” kataku sambil lari ke arah bianglala.

Rendi pun mengeluarkan garam dari dalam sakunya. Dia melemparkan garam itu ke arah bianglala. Seketika saja, wujud Arin tampak jelas menggantung di atas sana. Aku pun menelepon polisi.

Tak lama kemudian ternyata para polisi datang. Mereka pun langsung menghubungi damkar untuk menurunkan Arin.

Petugas damkar berhasil menyelamatkan Arin. Dia masih hidup. Kondisinya sangat memperihatinkan. Wajahnya pucat dan bibirnya kering. Dia langsung dibawa ke rumah sakit.

“Sayang, ayo kita ikut Arin ke rumah sakit,” kataku sambil menoleh ke belakang. Namun, Rendi justru tidak ada. Di mana dia?

“Rendi?” aku sangat panik. Aku takut kalau-kalau dia diculik setan.

Dari kejauhan, kulihat Rendi berdiri di dekat ombak banyu dengan seorang wanita. Aku tidak dapat melihat jelas siapa wanita itu. Kuhampiri Rendi. Semakin dekat, wajah wanita itu semakin jelas. Dia adalah wanita yang pernah duduk di samping Arin. Dia juga yang beberapa hari lalu mengganggu Rendi.

“Kita sudah beda alam. Jangan ikuti aku lagi,” kata Rendi. Nada bicaranya terdengar sedih.

Wanita itu menggelengkan kepala pelan. Matanya mulai basah, satu dua bulir air mata menetes di pipinya.

“Aku selalu mendoakan kamu Amira. Tapi kali ini aku mohon jangan ganggu kehidupanku lagi,” ujar Rendi.

“Sekarang tenanglah di alamu, Sayang…,” Rendi mengeluarkan sisa garam dari dalam sakunya. Ia lalu melemparkannya ke tubuh wanita itu.

Wanita itu menangis sejadi-jadinya. Dia pun perlahan menghilang begitu saja.

***​

Rendi awalnya tidak mau cerita siapa sebenarnya wanita itu. Tapi setelah aku memaksanya dan mengancam putus, dia akhirnya cerita semuanya. Amira itu adalah mantan kekasihnya. Ternyata dia adalah wanita yang meninggal akibat jatuh dari wahana ombak banyu. Pantas saja Rendi menolak saat diajak ke wahana itu.

Beberapa tahun kemudian, kami lulus dari kampus. Namun, kejadian itu masih membekas di benakku dan tak akan pernah kulupakan.

Satu hal yang kupelajari bahwa manusia tidak hidup sendirian di dunia ini. Ada makhluk tak kasat mata yang hidup berdampingan dengan manusia. Mereka ada di sekeliling kita. Atau, bahkan tidur bersama kita setiap malam. Maka jangan bertindak atau berkata sembarangan.

SELESAI
Moral of the story:

"Tak perlu mandi apabila ingin ketempat² angker, karena asin keringatmu akan membuatmu aman dari gangguan para setan."
:2good:
 
Kalo berlibur mah mandi dulu, masa dimobil ga mandi. Nah kalo sampe tujuan trus mau ketempat wisatanya baru ga usah mandi kalo perlu olah raga dulu biar makin asin 😁(y)
Atau bawa garam satu kresek kl pergi liburan teh..
😂😂
Aku suka cerita2 horor gtu sih.. Punya rekomendasi cenel utub horor nih kalo mau..

Yang tentang pendaki2 tu lebih serem
Enak cerita aja zing..
 
Lounge - curhatan hati - lounge - curhatan hati - lounge - curhatan hati, gitu aja terus sampe negara air menyerang 🙄
 
Back
Top